bisnis internet

Kamis, 15 Juli 2010

SEJARAH BERDIRINYA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

SEJARAH BERDIRINYA PERBANKAN SYARIAH

DI INDONESIA

Oleh

Abdurrahim

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu kegiatan usaha yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya di dunia ekonomi dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan. Secara umum perbankan adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu penghimpun dana, penyediaan dana, dan memberikan jasa bagi kelancaran lalu lintas dan peredaran uang.[1] Akan tetapi perbankan yang banyak kita kenal sekarang adalah perbankan konvensional, yang mana dalam operasinya menggunakan sistem bunga atau riba. Oleh itu, perlulah dikenalkan perbankan yang operasinya yang sesuai Syariah, karena kebanyakan masyarakat Indonesia beragama Islam, yang mana riba diharamkan di dalam Islam.

Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai Syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, miminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW.[2] Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu: menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah SAW.

B. Rumusan Masalah

Dengan uraian latar belakang di atas, maka saya ingin mencoba membahas beberapa masalah. Adapun rumusan masalah yang ingin saya sampaikan, yaitu:

Ø Apa pengertian Bank Syariah?

Ø Apa dasar pemikiran terbentuknya Bank Syariah?

Ø Bagaimana berdirinya Perbankan Syariah di Indonesia?

Ø Apa tujuan Bank Syariah?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bank Syariah

kata bank dari kata banque dalam bahasa Prancis dan banco dalam bahasa Italia, yang berarti peti, lemari atau bangku. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya. Dalam Alquran, istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit. Tetapi jika yang dimaksud adalah sesuatu yang, memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas, seperti zakat, sedaqah, rampasan perang, jual beli, utang dagang, harta dan sebagainya, yang memiliki peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.[3]

Pada umumnya yang dimaksud dengan Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengeporasiannya berdasarkan dengan prinsip-prinsip Syariah.[4]

Berdasarkan rumusan tersebut, Bank Syariah berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Syariah, yakni mengacu kepada Alquran dan Al-Hadis. Sedangkan pengertian “Muamalah adalah aturan-aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitan dalam pemutaran harta”[5] Muamalah ini meliputi bidang kegiatan jual beli, rohan, hawalah, syirkah, ijarah dan sebagainya.

Didalam operasionalnya Bank Syariah harus mengikuti atau berpedoman kepada praktek-praktek usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama atau cendikiawan Muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Alquran dan Hadis.

B. Dasar Pemikiran Terbentuknya Bank Syariah

Dasar pemikiran terbentuknya Bank Syariah bersumber dari adanya larangan riba di dalam Alquran dan Al-Hadis sebagai berikut:[6]

Dasar Alquran

Orang-orang yang memakan riba itu tidak akan berdiri melainkan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuk setan dengan terhuyung-huyung karena sentuhannya. Yang demikian itu karena mereka mengatakan: "Perdagangan itu sama saja dengan riba". Padahal Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, barangsiapa telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka baginyalah apa yang telah lalu dan mengulangi lagi (memakan riba) maka itu ahli neraka mereka akan kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah: 275)

Dan (karena) mereka memakan riba, padahal telah dilarang dan (karena) mereka memakan harta manusia dengan (cara) yang tidak betul; dan kami telah sediakan bagi orang-orang kafir dari antara mereka itu siksaan yang pedih. (QS Al-Nina': 161)

Dasar Al-Hadis

Dari Abu Sa'd r.a., diceritakan: Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah Saw. membawa kurma barni. Lalu Rasulullah Saw. bertanya kepadanya, "Kurma dari mana ini?" Jawab Bilal, "Kurma kita rendah mutunya karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi Saw". Maka bersabda Rasulullah SAW. "Inilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmanya (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus." (HR. Muslim)

Dari Abu Said Al-Khudri r.a., katanya Rasullullah Saw., bersabda: "Tidak boleh jual beli emas dengan emas, dan perak dengan perak kecuali sama berat."(HR. Muslim)

Dari Jabir r.a., dikatakan: Rasulullah Saw. mengutuk pemakan riba, yang menyuruh memakan riba, juru tulis pembuat akte riba dan saksi-saksinya. Menurut beliau: 'Mereka itu sama saja (do­sanya)'.(HR. Muslim)

C. Berdirinya Perbankan Syariah di Indonesia

Umat Islam Indonesia telah lama mendambakan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan syariat. K.H. Mas Mansur, ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pereode 1937-1944 telah menguraikan pendapatnya tentang penggunaan jasa Bank Konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum mempunyai sendiri bank yang bebas riba.[7] Kemudian disusul dengan ide untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia yang sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional Hubungan Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun, ada beberapa alasan yang menghambat terealisasinya ide ini:[8]

1. Operasi Bank Syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, dan karena itu, tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang berlaku, yakni UU No 14/1967.

2. Konsep Bank Syariah dari segi, politis berkonotasi ldeologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep negara Islam, dan karena itu tidak dikehendaki pemerintah.

3. Masih dipertanyakan, siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih dicegah, antara lain pembatasan bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.

Untuk memobilisasi dana pembangunan, pemerintah pada tahun 1988 membuka peluang yang seluas-luasnya untuk bisnis perbankan dengan mengeluarkan PAKTO (Paket Kebijaksanaan Pemerintah bulan Oktober) pada tanggal 27 Oktober yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain yang telah ada.[9] Dengan ini dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah di Indonesia, yang pertama kali memperoleh izin usaha adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991, serta BPRS Amanah Rabaniah pada tanggal 24 Oktober 1991 yang ketiganya beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat pada tanggal 10 November 1991 di Aceh, yang kemudian mendorong didirikannya Bank Umum Syariah pertama. di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 Mei 1992.[10]

Yang kemudian disusul akhirnya gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi sejak tahun 1988 di saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Para ulama waktu itu berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satu pun perangkat hukum yang dapat menjadi pedoman kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0%. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas (Musyawarah Nasional) tersebut, maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia. [11]

Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim Perbankan MUI tersebut di atas, akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, pada acara silahturahmi presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000, Dana tersebut berasal dari presiden dan wakil presiden, sepuluh menteri kabinet pembangunan V, juga Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Puma Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang Bank Syariah. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia (BMI) mulai beroperasi.[12]

Kemudian diikuti dengan kemunculan Undang-Undang (UU) No 7 tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasi. Dalam UU tersebut, pasal 13 ayat (c) menyatakan bahwa salah satu usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan. bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Menanggapi pasal tersebut, pemerintah pada tanggal 30 Oktober 1992 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 tahun 1992 tentang, bank berdasarkan prinsip bagi hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam lembaran negara Republik Indonesia NO. 119 tahun 1992.

Hal itu secara tegas ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 yang berbunyi:[13]

1. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diper­kenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.

2. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip, bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil."

Dalam menjalankan perannya, Bank Syariah berlandaskan pada UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil yang kemudian dijabarkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan hak-hak, antara lain:[14]

1. Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.

2. Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip, bagi hasil yang berdasarkan Syariah.

3. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).

4. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.

Pendirian Bank Muamalat Indonesia ini diikuti oleh perkembangan bank-Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), namun demikian adanya 2 jenis bank tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh karena itu, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan-pinjam yang disebut Baitul Maal wa Tamwil (BMT).

Pada tahun 1998 muncul UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan Perbankan Syariah. Dari UU tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem Perbankan Syariah dikembangkan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem Perbankan Syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga.

2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah investor yang harmonis. Sementara dalam Bank Konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur-kreditur.

3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan, membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif, pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhati­kan unsur moral.

4. Pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 ini diikuti dengan dikeluar­kannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perundang‑ undangan tersebut membuka kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan Syariah, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh Bank Konvensional. Dengan kata lain, Bank Konvensional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah. Landasan dan kepastian hukum yang kuat bagi para pelaku bisnis serta masyarakat luas ini meliputi:

a. Pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan usaha dan Bank Syariah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat 3 UU No. 10 Tahun 1998. Pasal tersebut menjelaskan bahwa Bank Umum dapat memilih untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional atau berdasarkan prinsip Syariah atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Dalam hal Bank Umum melakukan kegiatan usaha berdasarkan Syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja dan kantor cabang khusus yaitu unit usaha syariah dan kantor cabang Syariah. Sedangkan BPR harus memilih kegiatan usaha di antara salah satunya saja. Bank Umum konvensional yang akan membuka kantor cabang syariah wajib melaksanakan:

1) Pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS);

2) Memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang di tempat­kan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN);

3) Menyediakan modal kerja yang disisihkan oleh bank dalam suatu rekening tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk membayar biaya kantor dan izin-izin berkaitan dengan kegiatan operasional maupun non operasional. Kantor Cabang Syariah (KCS).

b. Ketentuan kliring instrumen moneter dan pasar uang antarbank. Di dalam penjelasan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah diamanatkan bahwa untuk mengantisi­pasi perkembangan prinsip Syariah, maka tugas dan fungsi BI untuk mengakomodasi prinsip tersebut. Untuk mengatur kelancaran lintas pembayaran antarbank serta pelaksanaan Pasar Uang antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, transaksi pembayaran dilakukan melalui mekanisme kliring dengan membebankan rekening giro pada BI. Apabila dalam pelaksanaan, saldo bank menjadi kurang dari Giro Wajib Minimum (GMW), maka bank atau kantor cabangnya dikenakan kewajiban membayar. Dalam kegiatan operasional, bank dapat mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas. Bila terjadi kelebihan, maka hal itu dianggap sebagai keuntungan bank. Sedangkan apabila terjadi kekurangan. likuiditas, maka bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan tersebut. Bagi bank Syariah yang mengalami kekurangan dana dapat menerbitkan sertifikat Investasi Mudharabah antarbank (IMA) yang merupakan sarana pe­nanaman modal bagi Bank Syariah. Untuk menjaga kestabilan moneter, BI menyerap kelebihan likuiditas bank-bank syariah melalui penerbitan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang didasari pada prinsip wadiah (titipan)."

D. Tujuan Bank Syariah

Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia, maka Bank Syariah ini mempunyai tujuan umum sebagai berikut:[15]

1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat, sehingga kian berkurang kesenjangan sosial ekonomi, melalui peningkatan kesempatan kerja.

2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan bidang ekonomi keuangan, yang selama ini diketahui masih cukup banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank karena masih menganggap bahwa bunga bank itu riba.

3. Mengembangkan lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan prinsip efisiensi dan keadilan, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga menggalakkan usaha-usaha ekonomi rakyat, antara lain memperluas jaringan lembaga perbankan ke daerah-daerah terpencil.

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengeporasiannya berdasarkan dengan prinsip-prinsip Syariah. Dengan berdasarkan Alquran dan Hadis.

Sedangkan sejarah berdirinya Bank Syariah di Idonesia adalah setelah dikeluarkannya PAKTO (Paket Kebijaksanaan Pemerintah bulan Oktober) pada tanggal 27 Oktober yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain yang telah ada. Sehingga Para ulama waktu itu berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, sehingga setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut, maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Sehingga lahirlah Bank Muamalah sebagai bank umum syariah pertama di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Ma’ruf, Hukum Perbankan Dan Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia, Antasari Press, Banjarmasin, 2006

Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004

Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarata, 2004

Parmudi, Mochammad, Sejarah Dan Doktrin Bank Islam, Kutub, Yogyakarta, 2005

Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia, Yogyakarta, 2004

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002

Sumitro, Warkum, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004



[1] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Kuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 18.

[2] Adiwarman Karim,. Loc,.Cit,

[3] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 27.

[4] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 5.

[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.

[6] Warkum Sumitro, Op,.Cit, hlm. 8-11

[7] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 59-60.

[8] Heri Sudarsono, Op,.Cit, hlm. 30.

[9] M. Ma’ruf Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia, (Banjarmasin: Antasari Press, 2006), hlm. 17.

[10] Gemala Dewi, Op,.Cit, hlm. 61.

[11] Ibid,. hlm. 61-62.

[12] Heri Sudarsono, Op,.Cit, hlm. 31.

[13] Ibid,. hlm. 31-32.

[14] Gemala Dewi, Op,.Cit, hlm. 63-66.

[15] Mochammad Parmudi, Sejarah dan Doktrin Bank Islam, (Yogyakarta: Kutub, 2005), hlm. 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar